Senin, 08 Juli 2013

Cinta Daun Pada Embun



Bekas hujan semalam terasa di pagi ini, tiap insan Tuhan saling memacu pada kesibukannya sendiri, hewan disekirtanya pun tanpa diperintah seakan sudah terjadwal mereka bergerak melakukan kegiatannya masing masing. Alam sangat tenang pagi ini..

Begitu pula dengan sepucuk daun flamboyan yang pohonnya tumbuh di tepi sungai. Daun itu masih daun muda, dengan tulang daun yang masih terlihat lunak.

'Ah, pagi yang sejuk, seperti biasa embun pasti membasahi tubuhku.' Ucap daun.
Benar, tak lama kemudian setetes embun menjatuhinya. Dengan perlahan sang daun mulai menundukkan tubuhnya, membiarkan embun membasahi seluruh tubuhnya, lalu bergulir jatuh ke sungai dibawahnya,seperti biasa.Ya, seperti biasa.
Tapi sebelum embun itu dibiarkannya terjatuh, sang embun justru mengajak daun berbicara. Aneh, pikir daun. Tak pernah ada embun selama ini yang mengajaknya berbicara, bahkan teman temannya dalam satu pohon dan pohon lainnya sangat jarang mengajaknya bicara. Itulah yang membuat hati(nya) merasa keras. Daun memiliki hati? Oh, apa manusia saja yang dengan angkuhnya mengakui mereka memiliki hati namun tak pernah memakainya dengan benar? Percayalah, banyak hal di luar sana yang belum diketahui..

'Apa kau mau kucritakan kisahku sebelum menjadi embun?' Tanya embun, saat daun akan menjatuhkannya.
'Untuk apa aku mendengarmu?'
Embun hanya tersenyum dalam kebeningannya, daun merasa terenyuh, apa yang baru saja dilihatnya?
'Astaga.. Apa senyum dari sesuatu yang berasal dari air, menciptakan senyuman seindah ini?' Batin daun dalam hati(nya).
Embun tidak mempedulikan perkataan daun, ia terus saja menceritakan kisahnya. Bahwa sebelum awan menjatuhkannya di atas tubuh sang daun, terdapat proses yang sangat panjang yang harus dilaluinya, hingga akhirnya ia membasahi tubuh si daun flamboyan ini.
Sang daun yang semula acuh, diam diam mulai terpaku dengan pesona sebutir embun basah didepannya. Ya Tuhan.. Indah nian kilau ciptaanmu..

Berbeda dengan ratusan embun lain yang pernah membasahinya, embun di depannya sekarang jauh lebih bening dan membawa nuansa basah yang berbeda di tubuhnya. Sial! Perasaan apa ini?! Logiskah jika sepucuk daun mencintai sebulir embun?

Matahari mulai menggagahkan sinarnya, tiba untuk sang daun menjatuhkan sang embun agar embun tak menguap habis di tubuhnya.

'Sudah saatnya aku pergi..' Ucap embun pelan
'Tidak bisakah lebih lama lagi?' Pinta daun.

Sang embun hanya bisa tersenyum lemah dalam keheningannya..

'Belum pernah ada yang mengajakku bicara sebanyak ini..' Desah daun.
'Alam selalu berbicara..'
'Bagaimana bisa alam berbicara?'  Tanya daun ragu.
'Kita saja bisa saling berbicara kan? Alam berbahasa, berdialog dengan bahasanya sendiri..'

Daun tersentak mendengarnya, betulkah alam berbahasa? Tanyanya dalam hati ragu.

'Akankah kita bertemu lagi?' Tanya daun ragu.
'Kita tidak tahu rencana Tuhan, tapi rencana Tuhan pasti indah.' Ucap embun meyakinkan.
'Jatuhkan aku sekarang, kumohon..' Pinta embun

Daun pun dengan berat hati menjatuhkan embun kesayangannya. Membiarkannya bergulir jatuh ke dalam sungai. Kembali ke tempatnya semula, sebagai air.

Waktu pun bergulir, bagaimana nasib sang daun flamboyan? Dia sangat acuh dengan dirinya sendiri, dirinya kini bukan lagi daun muda yang hijau muda seperti dulu, melainkan menjadi daun tua yang semakin keras tulang daunnya.

Bergulir gulir embun jatuh membasahi dirinya, namun selama waktu berjalan tak ada lagi embun yang sama seperti waktu itu, seperti embun yang telah membuka hati(nya) tentang alam di luar sana..

Lalu bagaimana dengan sang embun? Tunggu dulu, ingatkah kalian tentang daur hidup air? Ya... Kalau memang air selalu begerak, akankah embun dapat kembali pada sang daun? Tuhan selalu punya rencana yang indah..

~ ~ ~

Pagi hari. Daun masih menganggap setiap pagi terasa menjenuhkan. Ah, dia siap menerima embun hari ini. Semenit,dua menit,hingga jam berikutnya mengapa embun belum membasahi tubuhnya? Hmm mungkin bukan saatnya ada embun membasahinya.
Saat daun mulai merentangkan tubuhnya menghadap mentari, setetes embun jatuh di tubuhnya. Dingin... Sangat menyejukkan, mengapa sensasinya beda dengan embun yang kemarin? Mengapa seperti embun itu? Jangan-jangan..........

'Hay...' Sapa sang embun.

Daun merasa pori-pori tubuhnya merekah, bahagia. Embun-nya telah kembali

'Hay, aku merindukanmu' Ucap embun.

'Aku juga, sangat.' Jawab embun dengan senyum beningnya.

'Sebentar lagi kita akan berpisah kembali.' Senyum sang daun, sayu.

'Apa kau masih takut melepasku?' Tanya sang embun.

'Tidak setakut yang lalu. Kau pasti akan kembali lagi bukan?' Tanya daun, sembari tersenyum dalam hijaunya.

'Rencana Tuhan selalu indah Daunku... Sekarang jatuhkan aku sebelum aku menguap di sini.'

Daun hanya tersenyum, perlahan-lahan ujungnya mulai mengarah ke bawah..

'Berjanjilah padaku, kau jangan jatuh di daun lain! Ingat itu!' Teriak daun.

Embun hanya tersenyum, dia menikmati tubuh beningnya jatuh dari ketinggian, sembari tetap menatap sang daun. Entah apa yang dirasakannya saat ini, dia hanya sebutir embun yang hanya bisa mengikuti alur jalannya air, dia hanya sebutir embun yang sangat mencintai sang daun....


Thanks,

Little Phoe.

Sabtu, 06 Juli 2013

Sunday, July 7

Aku Ryan, remaja dengan rambut ikal dan bermata sipit, mempunyai mimpi menjadi seorang sejarahwan dunia, yang sementara ini bekerja magang di sebuah kantor koran lokal, dan sampai saat ini masih mengagumi seorang gadis bernama Lea.

Untuk gadis bernama Lea. Aku hanya sanggup menceritakan hal-hal sederhana kepada orang lain tentang dirinya. Selebihnya? Biarlah hati ini yang menyimpannya dengan baik. Bukan apa-apa, aku bisa saja berkoar-koar kepada dunia betapa aku sangat mengagumi keindahan ciptaan Tuhan yang satu ini, tapi hanya saja aku terlalu takut ada orang lain di luar sana yang juga mengaguminya seperti aku, atau bahkan lebih. Egois, tapi inilah aku.


2 tahun berlalu, dan kisah ini menjadi berbeda...


Daun beringin jatuh tepat di mata kananku. Ah sial! Mengganggu saja. Aku kembali fokus kepada objek di depanku. Bangku putih itu menjadi tempatnya bersandar. Rambutnya dia biarkan tergerai begitu saja. Matanya sayu, kulihat sesekali tangannya terangkat untuk membasuh air mata di pipinya. Ya, bidadariku menangis di sana... Dan aku hanya diam terpaku di tempatku hanya bisa menatapnya seperti ini.

Lea memang sering menangis akhir-akhir ini, di tempat ini, di bangku putih ini, di bawah guguran daun beringin. Tanpa menyadari ada sepasang mata yang menatapnya pilu. Aku tidak tau apa penyebab kesedihan Lea selama ini. Yang kutau, sejak dia mengenal pria itu semuanya menjadi terasa berbeda...

Ada hempasan keras ketika aku mengetahui Lea memilih pria itu untuk menjadi kekasihnya. Ya tuhan, aku bahkan belum membuat langkah maju selama ini, kenapa pria itu sudah memilikinya? Aku mencoba mengerti, lebih tepatnya mencoba menghibur diri. Aku tau Lea perempuan yang sangat indah, dan pasti pria yang dipilihnya sekarang adalah pria yang memang baik. Tapi ada yang tak kumengerti, mengapa sekarang dia tidak terlihat bahagia? Definisi bahagia memang berbeda-beda untuk setiap orang. Tapi sebodohnya diriku, aku merasa dia tidak bahagia. Mengapa? Karna aku sering mengamati dia duduk di bangku putih itu dengan kedua mata yang basah.

Apa aku yang terlalu naif hingga tidak dapat memahaminya? Pertanyaan dan kekuatiranku akhirnya menimbulkan keberanian untuk keluar dari tempat persembunyianku selama ini. Aku akan selalu ingat hari ini, hari dimana aku benar-benar bicara berdua bersamanya. Perlahan-lahan aku mendekati Lea ku. Ya Tuhan kakiku lemas melihat bidadariku lemah seperti ini... Lea menyadari kehadiranku, dia terkaget, segera ia menyeka air matanya. Mungkin dia berpikir bagaimana aku bisa ada di sini. Haha andai dia tau apa yang kukerjakan selama ini untuk mengawasinya.

"Hay." Sapaku, aku berdeham. Agak kaku di sini.
"Hay Ryan." Lea tersenyum, dia mempersilahkanku duduk di sampingnya.
Angin sedang bersahabat di sini. Kami terdiam beberapa saat.

"Bagaimana kabarmu?" Aku membuka obrolan.
"Baik, kamu?"
Aku terdiam, apa perlu dia berpura-pura baik seperti ini?
"Aku melihatnya tadi, lebih tepatnya sering, kamu menangis di bangku ini, entah apa penyebabnya. Apa karna lelaki itu?" Aku langsung saja pada pokok pembicaraan.

"Apa maksutmu?" Tanya Lea berpura-pura tidak mengerti.
"Apa lelaki itu sering melukaimu?"
"Hmm.. Engga Ryan, setauku dia sangat mencintaiku kok."
"Apa kalau mencintai bearti harus sering membuatmu tersakiti?" Tanyaku polos.

Lea tersenyum, astaga senyum itu membuatku tidak yakin kalau saat ini aku sedang menginjak bumi.

"Terkadang, untuk merasa senang dan bahagia, kita harus berkenalan dengan rasa sakit. Kita harus memahami apa rasa sakit itu, baru kita benar benar secara utuh dapat merasa senang......"

Aku terdiam dengan jawaban Lea mencoba mencerna kembali jawabannya. Kami membisu bersama di sini, dalam pikiran masing-masing.


"Kau bilang lelaki itu sangat mencintaimu, lalu kenapa kau seperti ini? Kenapa kau sering menangis, seberapa sering dia menyakitimu." Tanyaku kepadanya.
"Aku bahagia dengannya Ryan..."
"Lalu kenapa kau sering menangis?
"Karna aku mencintainya!" Jawab Lea mantap.

Aku kembali terdiam, sesak rasanya di bagian dada. Ya Tuhan ada hal lain yang belum kumengerti kenapa gadis yang kucintai merasa bahagia bersama lelaki itu disampingnya. Yang aku tau sesuai penjelasannya bahwa dia mencintai pria itu. Sangat mencintainya.
Aku menatap gadis di sampingku ini, bagaimanapun banyaknya air mata yang keluar dari kedua matanya, bagaimanapun waktu cepat berganti, dia tetap Lea yang kukenal, Lea yang kuat dan indah. Aku juga tak tau sampai kapan aku mengaguminya seperti ini. Tapi suatu saat aku percaya, akan ada Ryan yang selalu membuat Lea-nya tersenyum.....


Thanks,

Little Phoe.